Giat Ops

PERJUANGAN BHAYANGKARI MATHILDA BATLAYERI

Kisah Heroik Dibalik Bandara Mathilda Batlayeri
Mathilda Batlayeri
mathilda_batlayeri_makam_thumb
mathilda_batlayeri_pesan_thumb
Monumen-Mathilda-Batlayeri-thumb
Magelang Selatan, kota Magelang – Perempuan Tanimbar itu sedang hamil anak keempat. Dia mengambil senjata jenis moser lalu bergabung dengan rekan-rekan suaminya. Ia menembak rubuh pimpinan pasukan yang dikabarkan kebal pelor. Tapi dia akhirnya gugur bersama tiga puteranya dan bayi dalam kandungan. Jenazahnya dimakan api. Pahlawan Bhayangkari Mathilda Batlayeri layak menyandang gelar pahlawan nasional Indonesia.

MALUKU ONLINE, 21 April 2014

Sebuah ruas jalan utama di Saumlaki, ibukota Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) diberi nama Jalan Mathilda Batlayeri. Siapa sosok perempuan yang namanya abadi di situ? Jika pertanyaan ini ditujukan ke anak-anak muda di Saumlaki, belum tentu semua anak bisa menjawab. Apalagi di Ambon.

Nona Ambon Loraine Alice Matahelumual nampak emosional karena banyak generasi muda tidak kenal Mathilda Batlayeri. Tapi dia tak menyalahkan kaum muda yang buta sejarah. Alasannya, memang nyaris tak ada referensi tentang pejuang-pejuang perempuan Maluku. Dia ingin perempuan-perempuan hebat dari Maluku harus didokumentasi dan dipublikasi sebagai bagian dari sejarah bangsa.

Kegelisahan Loraine bisa dimaklumi sebab naskah tentang perempuan-perempuan Maluku tidaklah banyak, baik tokoh dalam mitologi, kisah sejarah maupun sejarah perjuangan bangsa. Padahal, Maluku punya sederet figur perempuan yang pantas

dikenang. Sebut saja Hanuwele, Dit Sakmas, Ina Luhu, Monia Latualinya, Khatijah, Christina Martha Tiahahu, Ina Bala Wattimena, Aan Latuasan, Saar Sopacua, Dien Tamaela, dan sebagainya. Belum lagi perempuan-perempuan modern abad ke-20.

Tidaklah mengherankan bahwa banyak orang tidak mengenal sosok Mathilda Batlayeri, perempuan Yamdena. Padahal, sebuah buku tipis cetakan sederhana tentang Mathilda, sudah ditulis beberapa saat setelah Mathilda gugur. Buku itu berjudul Peristiwa Gugurnya Mathilda Batlayeri, Anggota Bhayangkari di Pos Polri Kurau Kalimantan Selatan. Buku ini ditulis oleh D. Habban, yang diterbitkan tahun 1953.

Mathilda adalah anggota bhayangkari. Ia menikah dengan Adrianus Batlayeri, tahun 1944. Adrianus masuk polisi saat Polri berdiri dan melakukan penerimaan anggota pertama kali. Saat bertugas di Kurau Kewedanaan Tanah Laut, Kalimantan Selatan, Adrianus berpangkat Agen Polisi II.

Sebagai istri polisi, Mathilda tinggal di asrama mengasuh tiga anaknya yang masih kecil. Waktu itu, tahun 1953 tiga anak lelakinya Alexander Batlayeri, berusia 9 tahun, Lodewijk Batlayeri 6 tahun, dan Max Batlayeri 2,5 tahun. Mathilda pun sedang mengandung janin dalam kandungannya, jadi aktivitasnya hanya di dalam asrama.

Di Kalimantan Selatan, pada tahun 1950, ada seorang tokoh bekas pejuang yang gigih melawan Belanda. Orang tuanya memberi nama Angli, tetapi dia dikenal sebagai Haderi Bin Umar, dan paling popular sebagai Ibnu Hadjar. Nama Ibnu Hadjar sesungguhnya adalah nama samaran untuk mengelabui pihak Belanda.

Ibu Hadjar pernah menjadi anggota TNI dan berpangkat letnan dua. Tapi dia kemudian melakukan pemberontakan dengan kelompoknya yang dinamakan Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT). Dia pun menyatakan bagian dari perjuangan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo. Aksi lapangan yang dilakukan kelompok Ibnu Hadjar adalah menyerang pos militer di Kalimantan Selatan.

Pada dinihari Rabu, 28 September 1953, Adrianus bangun dari tidur dan pergi ke sumur. Maklum saat itu tak ada instalasi air bersih. Polisi pun mengambil air dari luar asrama. Mathilda sudah bangun, dan ketiga anaknya masih dalam keadaan tertidur pulas.

Saat Adrianus ke sumur itulah, tiba-tiba datanglah sebuah serangan pasukan bersenjata yang tidak lain adalah kelompok KRyT pimpinan Ibnu Hadjar. Sekitar 50 orang anggota KRyT menyerang dengan senjata api. Beberapa di antaranya membawa pula pedang di tangan.

Dalam keadaan itu, di pos polisi sekaligus asrama, hanya terdapat lima anggota polisi. Baku tembak yang tidak berimbang pun terjadi antara lima polisi dan 50-an anggota KRyT.

Mathilda cemas sekali melihat hanya lima polisi yang bertahan, sedangkan suaminya Adrianus tidak bisa kembali ke asrama karena posisi sumur dan asrama sudah ditempati pasukan KRyT.

Timbullah inisiatif Mathila. Dia masuk ke kamar, mengambil senjata jenis moser milik suaminya. Mathilda langsung melibatkan diri dalam baku tembak itu. Mathilda bahkan menembak rubuh pimpinan penyerangan bernama Suwandi yang dikabarkan punya ilmu kebal dan tidak bisa tembus pelor.

Meskipun Mathilda sudah berusaha membantu lima anggota polisi, namun lawan yang jumlahnya lebih banyak dan tembakan membabi buta, membuat anggota-anggota polisi itu gugur. Bahkan, asrama polisi yang bukan bangunan permanen itu juga tertembus hujan peluru. Lima anggota polisi dan ketiga putra Adrianus-Mathilda tertembak di dalam rumah dan tewas seketika.

Pertempuran selama satu setengah jam itu menjadi tidak seimbang sebab pada akhirnya Mathilda harus berjuang seorang diri. Dengan janin dalam kandungan dan lawan yang lebih banyak, Mathilda akhirnya tertembak. Pasukan KRyT langsung membumihanguskan pos dan asrama, Jenazah Mathilda yang sedang mengandung bersama ketiga puteranya hangus terpanggang dalam kobaran api.

PAHLAWAN BAYANGKARI

Mathilda Batlayeri, Pahlawan Nasional Dari Tanimbar
Tiga puluh tahun setelah peristiwa heroik itu, organisasi Bhayangkari Pusat memberi penghargaan kepada Mathilda Batlayeri tahun 1983 berupa penghargaan Medali Melati sebagai pahlawan Bhayangkari.

Juga pada tahun 1983 Kapolda Kaltengsel Brigjen Pol M. Sanusi yang kemudian menjadi Kapolri membangun monumen untuk mengenang Mathilda. Monumen mulai dibangun 13 Agustus 1983, diberi nama Monumen Bhayangkari Teladan Mathilda Batlayeri, diresmikan pada hari pahlawan 10 November 1983 oleh Ketua Umum Bhayangkari Ny Anton Soedjarwo, istri Kapolri.

Pada monumen terdapat relief peristiwa penyerangan Pos dan Asrama Polisi Kurau. Di situ ada tulisan tulisan yang bunyinya: “Kepada Penerusku, aku bhayangkari dan anak-anakku terkapar di sini, di Bumi Kurau yang sunyi, semoga pahatan pengabdianku memberi arti pada ibu pertiwi”

“Selama mengatasi pemberontakan Ibu Hajar dan Simbar, berbagai peristiwa heroik terjadi. Salah satunya peristiwa tragis yang mengharukan bagi Bhayangkari Polda Kalsel. Pada 28 September 1953, Mathilda Batlayeri, seorang bhayangkari gugur bersama ketiga anak dan janin dalam kandungannya pada saat membantu mempertahankan pos/asrama polisi yang diserang oleh gerombolan KRyT,” demikian ditulis dalam Sejarah Berdirinya Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan.

Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) pada tahun lalu, telah memulai pembangunan Monument Mathilda Batlayeri di Saumlaki. Peletakan batu pertama monument dilakukan oleh Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu, Bupati MTB Bitto Temmar bahkan berinisiatif menulis kembali sejarah lengkap perjuangan Mathilda Batlayeri untuk dijadikan buku.

Gagasan membangun monumen, menulis buku, adalah sebuah langkah legal yang patut diberi apresiasi. Bahkan, bila perlu, dokumen untuk pengusulan pahlawan nasional dapat diajukan kepada pemerintah. Bukan hanya untuk Mathilda, namun juga tokoh-tokoh perempuan Maluku lainnya yang ikut berjuang bahkan mati demi negeri ini.

Setidaknya, bisa menjadi kesaksian sepanjang masa bahwa putera-puteri terbaik dari pulau-pulau kecil di Maluku ikut berkeringat dan berdarah demi bangsa yang besar ini. Mena Muria!

https://www.batlayeri.com/2017/05/mathilda-batlayeri-pahlawan-nasional.html

artikel ini disalin dari : Maluku Online (Editor rudifofid/gmail.com/sumber figurpolisi.blogspot. com, komisikepolisianindonesia. com/)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!